3 UTS-3 My Stories for You
Perjuanganku
Pengalamanku yang paling berkesan dan tak ternilai harganya adalah momen ketika aku secara resmi menjadi seorang atlet daerah. Keputusan ini terasa sangat signifikan karena aku merupakan seorang siswa di salah satu sekolah prestisius di Jakarta yang sangat terkenal dengan standar akademiknya yang tinggi, di mana hampir semua siswa difokuskan untuk unggul secara akademis. Namun, di tengah lingkungan yang kompetitif itu, aku mengambil langkah berani untuk membelokkan fokusku, memilih untuk mendedikasikan diri di bidang non-akademik, yaitu menjadi atlet selam. Mengingat aku baru menekuni dunia selam secara intensif selama kurang lebih dua tahun, aku sejujurnya tidak memiliki ekspektasi pribadi yang tinggi, apalagi sampai bermimpi untuk bisa lolos kualifikasi dan membawa nama daerahku, DKI Jakarta, ke ajang perlombaan selam tingkat nasional. Oleh karena itu, sebuah kejutan besar bagiku ketika aku tidak hanya berhasil masuk tim, tetapi juga menyandang status sebagai atlet termuda yang berada di kontingen DKI Jakarta pada perlombaan itu.
Jalan untuk dapat bisa terus berkembang secara konsisten di cabang olahraga selam menuntut pengorbanan yang luar biasa besar dariku. Aku harus mengorbankan banyak hal yang fundamental bagi seorang pelajar; aku sering kali terpaksa bolos sekolah dan meninggalkan pelajaran karena harus menjalani jadwal latihan rutin yang sangat padat dan tidak mengenal kompromi. Konsekuensinya, waktu sosialku terkikis drastis, menyebabkan berkurangnya kesempatan untuk bermain dan berkumpul bersama teman-teman sebaya layaknya remaja pada umumnya. Bahkan, aku sampai pada titik harus merelakan dan mengorbankan nilai-nilai akademikku di SMA, sebuah risiko yang sangat besar di sekolah yang begitu mementingkan rapor. Namun, bagiku, semua perjuangan, keringat, dan waktu yang hilang itu tidak berakhir sia-sia. Puncaknya adalah ketika pada saat Kejuaraan Nasional (Kejurnas) selam di tahun 2022, aku berhasil membuktikan bahwa pilihanku benar dengan meraih medali pertamaku di tingkat nasional.
Namun, sebagaimana sebuah kisah indah yang selalu akan sampai pada akhirnya, kesenangan dan euforia dari pencapaian medali serta fokus utamaku pada karier di cabor selam harus berakhir secara mendadak ketika aku memasuki kelas 12. Titik balik itu terjadi pada suatu siang, ketika aku dipanggil secara pribadi oleh kepala sekolahku ke ruangannya. Di sana, aku dihadapkan pada sebuah ultimatum yang menentukan masa depanku: aku diberikan dua pilihan yang sangat sulit. Pilihan pertama adalah berhenti total dari dunia atlet dan kembali fokus seratus persen ke jalur akademik untuk mengejar kelulusan dan universitas. Pilihan kedua, jika aku bersikeras memilih jalan sebagai atlet, aku diminta untuk mengundurkan diri dan keluar dari sekolah tersebut. Sehingga, pada saat itu, setelah melalui pertimbangan panjang dan memikirkan masa depan yang lebih cerah serta jenjang pendidikan yang pasti, dengan berat hati aku harus membuat keputusan pahit untuk meninggalkan jalan atletku dan kembali berfokus sepenuhnya pada perjuangan akademik.